KEKHAWATIRAN pemerintah provinsi Bali akan eksodusnya PSK dari Jawa Timur, sebetulnya tidak perlu terjadi, bila PSK tidak hidup subur di Bali. Oleh karenanya, kekhawatiran ini cuma sekedar ‘basa basi’. Keinginan pemprov Bali untuk mencegah meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS hanya ‘teori’.
Bagaimana mungkin, eksodus PSK dari Jawa Timur dapat dicegah, sementara lokalisasi PSK di Bali malah dilegalkan? Apakah mungkin penyebaran penyakit HIV/AIDS dapat ditekan hingga titik nol, bila PSK di Bali dapat bebas di Bali, tanpa sanksi hukum sedikit pun?
Jika Bali benar-benar ingin mencegah eksodusnya PSK dari Jawa Timur, Bali harus dengan sungguh-sungguh menutup berbagai lokalisasi di Bali. Jika provinsi-provinsi lain tidak ingin merasa khawatir seperti pemprov Bali, maka provinsi lainnya juga mesti mengikuti langkah pemprov Jatim dalam menutup lokalisasi-lokalisasi. Selama sarana prostitusi masih marak, maka para PSK akan memperoleh tempat.
Tidak usah ragu untuk menutup lokalisasi-lokalisasi, apapun pertimbangannya. Siapa bilang lokalisasi prostitusi menjadi salah satu daya tarik pariwisata? Bagaimana jika Bali nanti dikenal sebagai tempat pusat penyebaran penyakit HIV/AIDS, karena lokalisasi prostitusi marak di sana? Apakah para wisatawan akan tetap tertarik datang ke Bali, bila kondisinya seperti ini?
Tidak usah ragu untuk menutup lokalisasi prostitusi, apapun alasannya. Dulu pemprov DKI sempat membuat lokalisasi prostitusi dengan tujuan untuk menarik pajak darinya. Pajak ini digunakan untuk pembangunan jalan-jalan di ibu kota.
Apa gunanya pembangunan fisik ibu kota berkembang, sementara moral umat jatuh merosot hingga titik paling rendah. Apa gunanya, jalan mulus, gedung-gedung tinggi menjulang dan mentereng, sementara generasi muda menjadi generasi yang tidak dapat diharapkan untuk meneruskan tongkat estafet bangsa.
Tak perlu ragu untuk menutup lokalisasi prostitusi, apapun alasannya. Dulu untuk melegalkan lokalisasi, ada pihak-pihak yang mencoba menguatkan alasannya dengan kaidah syara’. Kaidah syara’nya adalah Akhaffu Dhararain (mengambil bahaya yang paling ringan diantara dua bahaya yang ada). Mereka juga menggunakan kaidah syara’ lainnya Ahwanu Syarrain (mengambil keburukan yang paling ringan diantara dua keburukan yang ada). Melegalkan lokalisasi dianggap bahaya dan keburukan yang paling ringan. Sehingga sikap ini diambil.
Padahal, kaidah syara’ tidak bisa dijadikan dalil, bila sudah ada dalil yang jelas di dalam Al-Quran dan Sunnah. Bukankah Al-Quran sudah amat jelas tentang pengharaman perbuatan zina? Bahkan para pelaku zina harus dijatuhi sanksi cambuk atau rajam.
Karena Al-Quran dan Sunnah sudah jelas mengharamkan adanya perbuatan zina, oleh karenanya kaidah syara’ tidak dapat dijadikan dalil. Terlebih lagi posisi kaidah syara’ bukan pada posisi dalil. Karena dia merupakan produk dari suatu dalil.
Kaidah syara’, “Kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib” berasal dari dalil Al-Quran yang membahas tentang wudhu’. Dalil yang dimaksud adalah,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS Al-Maidah (5):6).
Kewajiban membasuh tangan baru sempurna dengan membasuh hingga siku, oleh karenanya membasuh siku menjadi wajib.
Sekali lagi semua kaidah syara’ (termasuk Akhaffu Dhararain dan Ahwanu Syarrain) tidak dapat menjadi dalil karena posisinya sebagai ‘produk’ dalil. []
http://www.islampos.com/tak-perlu-ragu-tutup-lokalisasi-82300/